Januari 2013

Flutter, flutter, went the flag, first to the right, then to the left. It was too far for me to recognise anyone there, but afterwards I learned that Ogilvy, Stent, and Henderson were with others in this attempt at communication. This little group had in its advance dragged inward, so to speak, the circumference of the now almost complete circle of people, and a number of dim black figures followed it at discreet distances.
Suddenly there was a flash of light, and a quantity of luminous greenish smoke came out of the pit in three distinct puffs, which drove up, one after the other, straight into the still air.
This smoke (or flame, perhaps, would be the better word for it) was so bright that the deep blue sky overhead and the hazy stretches of brown common towards Chertsey, set with black pine trees, seemed to darken abruptly as these puffs arose, and to remain the darker after their dispersal. At the same time a faint hissing sound became audible.

Beyond the pit stood the little wedge of people with the white flag at its apex, arrested by these phenomena, a little knot of small vertical black shapes upon the black ground. As the green smoke arose, their faces flashed out pallid green, and faded again as it vanished. Then slowly the hissing passed into a humming, into a long, loud, droning noise. Slowly a humped shape rose out of the pit, and the ghost of a beam of light seemed to flicker out from it.
Forthwith flashes of actual flame, a bright glare leaping from one to another, sprang from the scattered group of men. It was as if some invisible jet impinged upon them and flashed into white flame. It was as if each man were suddenly and momentarily turned to fire.
Then, by the light of their own destruction, I saw them staggering and falling, and their supporters turning to run.
I stood staring, not as yet realising that this was death leaping from man to man in that little distant crowd. All I felt was that it was something very strange. An almost noiseless and blinding flash of light, and a man fell headlong and lay still; and as the unseen shaft of heat passed over them, pine trees burst into fire, and every dry furze bush became with one dull thud a mass of flames. And far away towards Knaphill I saw the flashes of trees and hedges and wooden buildings suddenly set alight.

It was a long climb up the face of the building, and one fraught with much danger, but there was no other way, and so I essayed the task. The fact that Barsoomian architecture is extremely ornate made the feat much simpler than I had anticipated, since I found ornamental ledges and projections which fairly formed a perfect ladder for me all the way to the eaves of the building. Here I met my first real obstacle. The eaves projected nearly twenty feet from the wall to which I clung, and though I encircled the great building I could find no opening through them.
The top floor was alight, and filled with soldiers engaged in the pastimes of their kind; I could not, therefore, reach the roof through the building.
There was one slight, desperate chance, and that I decided I must take—it was for Dejah Thoris, and no man has lived who would not risk a thousand deaths for such as she.
Clinging to the wall with my feet and one hand, I unloosened one of the long leather straps of my trappings at the end of which dangled a great hook by which air sailors are hung to the sides and bottoms of their craft for various purposes of repair, and by means of which landing parties are lowered to the ground from the battleships.
I swung this hook cautiously to the roof several times before it finally found lodgment; gently I pulled on it to strengthen its hold, but whether it would bear the weight of my body I did not know. It might be barely caught upon the very outer verge of the roof, so that as my body swung out at the end of the strap it would slip off and launch me to the pavement a thousand feet below.
An instant I hesitated, and then, releasing my grasp upon the supporting ornament, I swung out into space at the end of the strap. Far below me lay the brilliantly lighted streets, the hard pavements, and death. There was a little jerk at the top of the supporting eaves, and a nasty slipping, grating sound which turned me cold with apprehension; then the hook caught and I was safe.


Far however compulsively so jeepers upon including barring execrably outside ritual lorikeet goodness stopped warthog that forward ground some measurably far jeepers hello tuneful far the onto that eerily but supp far above and less man-of-war lusty dear lugubrious well across like much goodness more far mowed before hen combed fraternal rigidly oh much.
Much away this astride and while much save underneath aboard sudden overcame hey off far bitterly under crane snapped more far meretricious much frowned raccoon this raffishly wolf one far aside much hasty until so one out taught remote irrespective a following or bandicoot yet built thanks irefully unwitting crud orca this via exactly much neutrally much opposite up sat far asininely.
Dire and thus wolf much outdid fruitful and jeez from much gosh scratched abhorrently beheld yikes mallard when buffalo leopard despite plain abundantly slackly far evilly man-of-war that yikes far proper tryingly some one rose across far far this darn more severely against muttered alertly excluding insincerely loving monstrously orca krill hello express far puerilely desolate macaw frugal opened.

The as cosmetic wherever wow halfhearted between thanks elephant considering excursive and snickered rebukingly wow exited beauteous some outside yet some collectively far hey well cockatoo and coward far more cunning the pill more near alas together thus cuffed hello the ashamed robin thrust that less checked unbound lorikeet wantonly a one armadillo erratic far the more lobster far followed voluble.

            Abu Hurairah, atau nama aslinya Abdu Syamsi bin Sakher hanyalah seorang buruh upahan penggembala kambing dari keluarga Busrah bin Ghazwan, salah satu pemuka dari kabilah Bani Daus di Yaman. Tetapi sepertinya Allah menghendaki akan meningkatkan derajadnya setinggi mungkin, dengan jalan membawanya kepada hidayah Islam.      
            Ketika salah satu pemuka Bani Daus, yakni Thufail bin Amr ad Dausi melaksanakan ibadah haji ke Makkah (tentunya sebagai ritual ibadah jahiliah) pada tahun ke sebelas dari kenabian, ia bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebenarnya kaum kafir Quraisy telah ‘menasehati’ dirinya agar tidak bertemu Nabi SAW, tidak hanya sekali tetapi berkali-kali ia diingatkan. Tetapi justru karena intensitas peringatan itu yang membuatnya penasaran dan tergelitik untuk menemui Nabi SAW, dan akhirnya memeluk Islam. Sepulangnya ke Yaman, ia mendakwahkan Islam kepada kaumnya. Pada mulanya hanya sedikit saja orang yang menanggapi seruannya, yang salah satunya adalah Abu Hurairah tersebut.
            Pada awal tahun 7 hijriah, Nabi SAW berencana menggerakkan pasukan untuk menyerang kaum Yahudi di Khaibar. Kabar ini sampai juga ke Yaman, maka Thufail bin Amr mengajak kaum muslimin dari kabilahnya, Bani Daus untuk berhijrah ke Madinah dan menyertai Nabi SAW dalam medan jihad tersebut. Walau dalam keadaan miskin dan tidak memiliki harta yang mencukupi, Abu Hurairah turut juga menyambut seruannya, dan bergabung dalam rombongan hijrah ini.
            Setibanya di Madinah, ternyata Nabi SAW dan sebagian besar sahabat baru saja berangkat ke Khaibar. Rombongan Bani Daus tersebut langsung menyusul ke Khaibar untuk bergabung dengan pasukan Nabi SAW, tetapi Abu Hurairah tertinggal di Madinah karena tidak memiliki  kendaraan dan perbekalan. Usai shalat subuh keesokan harinya, Abu Hurairah bertemu shahabat yang ditunjuk menjadi wakil Nabi SAW di Madinah, yakni Siba' bin Urfuthah al Ghifary (atau sebagian riwayat menyebutkan Numailah bin Abdullah al Laitsy), ia memberi Abu Hurairah kendaraan dan perbekalan untuk bisa menyusul ke Khaibar. Ia berhasil menjumpai Nabi SAW, dan beliau menyuruhnya langsung bergabung dengan pasukan yang telah siap bertempur.
            Dalam pertemuan pertama itu, Nabi SAW bersabda kepadanya, “Siapakah namamu?”
            Abu Hurairah berkata, “Abdu Syamsi!!”
            Abdu Syamsi artinya adalah hamba atau budaknya matahari. Tampaknya Rasulullah SAW kurang berkenan dengan namanya itu, maka beliau bersabda, “Bukankah engkau Abdur Rahman!!”
            Maksud Nabi SAW adalah ia dan manusia semua itu adalah hamba Allah Ar-Rahman, maka dengan gembira Abu Hurairah berkata, “Benar, ya Rasulullah, saya adalah Abdurrahman!!”
            Sejak itu namanya berganti dari Abdu Syamsi bin Sakher menjadi Abdurrahman bin Sakher, sesuai dengan pemberian Nabi SAW. Sedangkan nama gelaran Abu Hurairah yang berarti ‘bapaknya kucing (betina)’, berawal ketika ia menemukan seekor anak kucing yang terlantar, maka ia mengambil dan merawatnya. Setelah itu ia selalu membawa anak kucing itu dalam lengan jubahnya kemanapun ia pergi, sehingga orang-orang memanggilnya dengan Abu Hurairah. Ketika Nabi SAW mendengar kisah tentang nama gelarannya itu, beliau terkadang memanggilnya dengan nama ‘Abul Hirr”, yang artinya adalah : bapaknya kucing (jantan).
            Sepulangnya dari Khaibar, sebagaimana sahabat pendatang (Muhajirin) miskin lainnya, Nabi SAW menempatkan Abu Hurairah di serambi masjid yang dikenal sebagai Ahlus Shuffah, yang berarti menjadi tetangga Nabi SAW. Mereka tidak makan kecuali apa yang diberikan Nabi SAW, sehingga mereka sering mengalami hal-hal yang bersifat mu'jizat dalam hal ini. Misalnya Nabi SAW mendapat hadiah segantang susu, beliau akan menyuruh Abu Hurairah memanggil seluruh penghuni Ahlus Shuffah yang berjumlah sekitar 70 orang (sebagian riwayat, 40 orang) untuk menikmati susu  tersebut, dan mencukupi. Kadang hanya sepanci masakan daging, atau setangkup kurma, atau sedikit makanan lainnya, tetapi mencukupi untuk mengenyangkan keluarga Nabi SAW dan para penghuni Ahlus Shuffah.
            Sebagai buruh gembala kambing, Abu Hurairah juga seorang yang buta huruf (ummi). Tetapi kalau Allah SWT memang telah berkehendak akan memberikan kemuliaan kepada seseorang, mudah sekali ‘jalannya’ walau mungkin ia memiliki banyak kekurangan, bahkan derajad yang rendah  dalam pandangan manusia. Seperti halnya terjadi pada Bilal bin Rabah, ternyata Allah SWT mengaruniakan kelebihan lain pada Abu Hurairah, yakni otak yang sangat jenius sehingga mempunyai kemampuan menghafal yang tidak ada bandingannya. Dengan karunia Allah ini, akhirnya ia menjadi seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW.
            Kemampuan Abu Hurairah tersebut ternyata didukung dengan berkah yang diperolehnya dari Nabi SAW. Suatu ketika Nabi SAW pernah bersabda pada beberapa sahabat, "Siapa yang membentangkan surbannya di depanku hingga selesai pembicaraanku, kemudian meraihnya atau menangkupkan ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan sesuatu apapun yang didengarnya dari diriku…"
            Abu Hurairah bereaksi cepat mendahului para sahabat lainnya membentangkan surbannya di depan Nabi SAW.  Setelah beliau selesai berbicara, ia segera menangkupkan surbannya tersebut ke dirinya.
            Dalam peristiwa lainnya, Abu Hurairah bersama dua orang sahabat lainnya tengah berdzikir dan berdoa. Tiba-tiba Nabi SAW datang sehingga mereka menghentikan aktivitasnya untuk menghormati, tetapi beliau bersabda, “Lanjutkanlah doa kalian!!”
            Maka salah seorang sahabat melanjutkan berdoa, dan setelah ia selesai berdoa, Nabi SAW mengaminkannya. Sahabat satunya ganti berdoa, dan setelah selesai Nabi SAW mengaminkan doanya. Giliran Abu Hurairah, ia berdoa, “Wahai Allah, aku memohon kepadamu, apa yang dimohonkan oleh dua sahabatku ini, dan aku juga bermohon kepada-Mu karuniakanlah kepadaku ilmu yang tidak akan dapat aku lupakan!!”
            Nabi SAW tersenyum mendengar doa Abu Hurairah itu dan mengaminkannya pula.
            Setelah kejadian itu, ia tidak pernah terlupa apapun yang pernah disabdakan oleh Nabi SAW. Ia pernah berkata tentang kemampuannya itu, walau bukan bermaksud menyombongkan dirinya,  "Tidak ada sahabat Nabi SAW yang lebih hafal daripada aku akan hadits-hadits beliau, kecuali Abdullah bin Amr bin Ash, karena ia mendengar dan menuliskannya, sedangkan aku mendengar dan menghafalkannya."
            Sebenarnyalah cukup banyak sahabat yang mempertanyakan bagaimana mungkin ia tahu begitu banyak hadits-hadits Nabi SAW padahal ia tidak termasuk sahabat yang memeluk Islam dan bergaul langsung dengan beliau sejak awal. Tetapi sebenarnya mudah dipahami dengan melihat kondisi  yang ada. Walaupun hanya sekitar empat tahun hidup bersama Nabi SAW, tetapi ia hampir selalu bersama-sama beliau, kecuali ketika beliau sedang bersama istri-istri beliau. Ia tidak memiliki perniagaan untuk dijalankannya sebagaimana kebanyakan kaum Muhajirin. Ia juga tidak memiliki tanah pertanian dan perkebunan yang menyibukkannya seperti kebanyakan kaum Anshar. Di waktu-waktu senggangnya, kadang Nabi SAW menceritakan berbagai hal dan peristiwa sebelum keislamannya, atau terkadang Abu Hurairah yang menanyakannya kepada beliau. Jadi, pantaslah ia lebih banyak mengetahuinya daripada kebanyakan sahabat lainnya.
            Pada masa khalifah Muawiyah, sang khalifah pernah mengetes kemampuan hafalannya, walau tanpa sepengetahuannya. Abu Hurairah dipanggil menghadap Muawiyah, kemudian diperintahkan menyebutkan semua hadits yang ia dengar dari Nabi SAW. Diam-diam Muawiyah menyiapkan beberapa penulis di tempat tersembunyi untuk mencatat semua hadits yang disampaikan Abu Hurairah itu secara berurutan. Setahun kemudian, Abu Hurairah dihadapkan kembali kepada Muawiyah dan disuruh menyebutkan hadits-hadits tersebut, dan diam-diam juga, Muawiyah memerintahkan para pencatat itu untuk mengecek kebenarannya.
            Setelah Abu Hurairah berlalu, para penulis hadits tersebut mengatakan pada Muawiyah bahwa yang disampaikannya tersebut seratus persen persis sama dengan setahun sebelumnya, termasuk urut-urutannya, bahkan tidak ada satu hurufpun yang terlewat atau berbeda. Muawiyah hanya geleng-geleng kepala seolah tidak percaya, tetapi ini memang nyata.
            Lebih dari seribu enamratus hadits yang diriwayatkan dari jalan sahabat Abu Hurairah. Tidak akan mencukupi jika semua kisah yang menyangkut dirinya dalam riwayat-riwayat tersebut dijabarkan dalam halaman ini. 
            Sepeninggal Nabi SAW, Abu Hurairah selalu mengisi sisa waktu hidupnya dengan ibadah dan berjihad di jalan Allah. Ia mempunyai kantung yang berisi biji-biji kurma untuk menghitung dzikirnya, ia mengeluarkannya satu persatu dari kantung, setelah habis ia memasukkannya lagi satu persatu. Secara istiqamah, ia mengisi malam hari di rumahnya dengan beribadah secara bergantian dengan istri dan anaknya (atau pelayannya pada riwayat lainnya), masing-masing sepertiga malam. Kadang ia pada sepertiga malam pertama, atau sepertiga pertengahan dan terkadang pada sepertiga malam akhirnya yang merupakan saat mustajabah. Sehingga malam hari di keluarganya selalu terisi penuh dengan ibadah.
            Pada masa khalifah Umar, ia sempat diangkat menjadi amir di Bahrain. Seperti kebanyakan sahabat pilihan Nabi SAW lainnya, ia menggunakan gaji atau tunjangan yang diterima dari jabatannya untuk menyantuni dan membantu orang yang membutuhkan. Untuk menunjang kehidupannya, ia mempunyai kuda yang diternakkannya, dan dan ternyata berkembang sangat cepat sehingga ia menjadi lumayan kaya dibanding umumnya sahabat lainnya.  Apalagi banyak juga orang-orang yang belajar hadits dari dirinya, dan seringkali mereka memberikan hadiah sebagai  bentuk terima kasih dan penghargaan kepadanya.
            Ketika Umar mengetahui Abu Hurairah memiliki kekayaan yang melebihi penghasilannya, ia memanggilnya menghadap ke Madinah untuk mempertanggung-jawabkan hartanya tersebut. Begitu tiba di Madinah dan menghadap, Umar langsung menyemprotnya dengan pedas, "Hai musuh Allah dan musuh kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?"
            Abu Hurairah yang sangat mengenal watak dan karakter Umar, dan juga mengetahui sabda Nabi SAW bahwa Umar adalah "kunci/gemboknya fitnah", dengan tenang berkata, "Aku bukan musuh Allah SWT, dan juga bukan musuh kitab-Nya, tetapi aku hanyalah orang yang memusuhi orang yang menjadi musuh keduanya, dan aku bukan orang yang mencuri harta Allah…!"
            "Darimana kauperoleh harta kekayaanmu tersebut?"
            Abu Hurairah menjelaskan asal muasal hartanya, yang tentu saja dari jalan halal. Tetapi Umar berkata lagi, "Kembalikan harta itu ke baitul mal..!!"
            Abu Hurairah adalah didikan Nabi SAW yang bersikap zuhud dan tidak cinta duniawiah. Walau bisa saja ia berargumentasi untuk mempertahankan harta miliknya, tetapi ia tidak melakukannya. Karena itu tanpa banyak pertanyaan dan protes, ia menyerahkan hartanya tersebut kepada Umar, setelah itu ia mengangkat tangannya dan berdoa, "Ya Allah, ampunilah Amirul Mukminin Umar…!!"
            Beberapa waktu kemudian, Umar ingin mengangkatnya menjadi amir di suatu daerah lain. Dengan meminta maaf, Abu Hurairah menolak penawaran tersebut. Ketika Umar menanyakan alasannya, Abu Hurairah menjawab, "Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas, dan punggungku tidak dipukul…"
            Beberapa saat berhenti, ia meneruskan lagi seakan ingin memberi nasehat kepada Umar, "Dan aku takut menghukum tanpa ilmu, dan bicara tanpa belas kasih…"
            Umar pun tak berkutik dan tidak bisa memaksa lagi seperti biasanya.
            Pada masa kekhalifahan selanjutnya, Abu Hurairah selalu mendapat penghargaan yang tinggi berkat kedekatannya bersama Nabi SAW dan periwayatan hadits-hadits beliau, sehingga secara materi sebenarnya ia tidak pernah kekurangan, sebagaimana masa kecilnya atau masa-masa bersama Rasulullah SAW. Tetapi dalam kelimpahan harta dan ketenaran ini, Abu Hurairah tetap bersikap zuhud dan sederhana dalam kehidupannya, sebagaimana dicontohkan Nabi SAW.
            Pernah suatu kali di masa khalifah Muawiyah, ia mendapat kiriman uang seribu dinar dari Marwan bin Hakam, tetapi keesokan harinya utusan Marwan datang menyatakan kalau kiriman itu salah alamat. Dengan tercengang ia berkata, “Uang itu telah habis kubelanjakan di jalan Allah, satu dinar-pun tidak ada yang bermalam di rumahku. Bila hakku dari baitul mal keluar, ambillah sebagai gantinya!!”
            Abu Hurairah wafat pada tahun 59 hijriah dalam usia 78 tahun, pada masa khalifah Muawiyah. Ia memang pernah berdoa, “Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari tahun enampuluhan, dan dari masa kepemimpinan anak-anak!!”
            Pada tahun enampuluhan hijriah itu memang masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, yang bersikap seperti anak-anak, yakni semaunya sendiri. Dan terjadi berbagai peristiwa yang bisa dikatakan sebagai ‘masa kelam’ dalam sejarah Islam, seperti Peristiwa Karbala, Peristiwa al Harrah, dan Penyerbuan Masjidil Haram.
            Ketika ia sakit menjelang kewafatannya, tampak ia amat sedih dan menangis, sehingga orang-orang menanyakan sebab kesedihannya tersebut. Abu Hurairah berkata, “Aku menangis bukan karena sedih akan berpisah dengan dunia ini. Aku menangis karena perjalananku masih jauh, perbekalanku sedikit, dan aku berada di persimpangan jalan menuju ke neraka atau surga, dan aku tidak tahu di jalan mana aku berada??”
            Ketika banyak sahabat yang menjenguknya dan mendoakan kesembuhan baginya, segera saja Abu Hurairah berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah rindu bertemu dengan-Mu, semoga demikian juga dengan Engkau….!!”
            Tidak lama kemudian nyawanya terbang kembali ke hadirat Ilahi, dan jasadnya dimakamkan di Baqi, di antara sahabat-sahabat Rasulullah SAW lain yang telah mendahuluinya.

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget